Berdasarkan Pasal 89 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UUK”), upah
minimum, dalam hal ini termasuk UMK, ditetapkan oleh Gubernur.
Pada dasarnya, setiap pengusaha dilarang membayar upah
pekerjanya lebih rendah dari upah minimum. Akan tetapi, pengusaha yang tidak
mampu membayar upah minimum dapat meminta penangguhan berdasarkan Pasal 90
UUK.
Mengenai penangguhan upah minimum di dalam penjelasan Pasal
90 ayat (2) UUK dijelaskan sebagai berikut:
“Penangguhan pelaksanaan upah
minimum bagi perusahaan yang tidak mampu dimaksudkan untuk membebaskan
perusahaan yang bersangkutan melaksanakan upah minimum yang berlaku dalam kurun
waktu tertentu. Apabila penangguhan tersebut berakhir maka perusahaan yang
bersangkutan wajib melaksanakan upah minimum yang berlaku pada saat itu tetapi
tidak wajib membayar pemenuhan ketentuan upah minimum yang berlaku pada waktu
diberikan penangguhan.”
Jadi, kewajiban pengusaha untuk membayarkan upah pekerja
sesuai ketentuan UMK dapat ditangguhkan apabila perusahaan tidak mampu.
Kemudian, mengenai tata cara penangguhan upah minimum
selanjutnya diatur dalam Kepmenakertrans No. KEP-231/MEN/2003 Tahun 2003
tentang Tata Cara Penangguhan Pelaksanaan Upah Minimum (“Kepmenakertrans
231/2003”).
Pengusaha yang tidak mampu membayar sesuai upah minimum
dapat mengajukan permohonan penangguhan upah minimum kepada Gubernur melalui
Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan Provinsi paling
lambat 10 hari sebelum tanggal berlakunya upah minimum (Pasal 3 ayat [1]
Kepmenakertrans 231/2003). Permohonan tersebut merupakan hasil
kesepakatan tertulis antara pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat
pekerja/serikat buruh yang tercatat (Pasal 3 ayat [2] Kepmenakertrans
231/2003).
Berdasarkan ketentuan tersebut, jelas bahwa untuk dapat mengajukan
permohonan penangguhan UMK, pengusaha harus mencapai kesepakatan dengan pihak
buruh/pekerja jika ingin mengajukan penangguhan upah minimum.
Jika telah tercapai kesepakatan untuk dilakukan penangguhan
upah minimum, maka disampaikan permohonan kepada Gubernur. Permohonan
penangguhan upah minimum harus disertai dengan (Pasal 4 ayat [1]
Kepmenakertrans 231/2003):
a.
naskah asli kesepakatan tertulis
antara pengusaha dengan serikat pekerja/serikat
buruh
atau pekerja/buruh perusahaan yang bersangkutan;
b.
laporan keuangan perusahaan yang
terdiri, dari neraca, perhitungan rugi/laba beserta penjelasan-penjelasan untuk
2 (dua) tahun terakhir;
c.
salinan akte pendirian perusahaan;
d.
data upah menurut jabatan
pekerja/buruh;
e.
jumlah pekerja/buruh seluruhnya dan
jumlah pekerja/buruh yang dimohonkan
penangguhan
pelaksanaan upah minimum;
f.
perkembangan produksi dan pemasaran
selama 2 (dua) tahun terakhir, serta rencana produksi dan pemasaran untuk 2
(dua) tahun yang akan datang;
Apabila perusahaan yang memohon penangguhan upah minimum
berbentuk badan hukum, atau jika Gubernur merasa perlu untuk pembuktian
ketidakmampuan keuangan perusahaan, maka laporan keuangan harus diaudit oleh
Akuntan Publik (Pasal 4 ayat [2] dan [3] Kepmenakertrans 231/2003).
Terhadap permohonan penangguhan upah minimum dari
perusahaan, Gubernur akan memberikan persetujuan atau penolakan setelah
menerima saran dan pertimbangan Dewan Pengupahan Provinsi. Apabila penangguhan
upah minimum disetujui, Gubernur memberi penangguhan upah minimum untuk jangka
waktu paling lama 12 bulan (Pasal 4 ayat [4] jo. Pasal 5 ayat [1]
Kepmenakertrans 231/2003).
Bentuk penangguhan upah minimum yang diberikan dapat berupa
(Pasal 5 ayat [2] Kepmenakertrans 231/2003):
a. membayar
upah minimum sesuai upah minimum yang lama, atau;
b. membayar upah minimum lebih tinggi dari upah minimum lama
tetapi lebih rendah
dari upah minimum baru, atau;
c. menaikkan upah minimum secara bertahap
Jika masa penagguhan telah berakhir, pengusaha wajib
membayar upah minimum yang berlaku (Pasal 5 ayat [3] Kepmenakertrans
231/2003).